Headlines News :
Home » » Gombalisme

Gombalisme

Written By blog contoh saja on Kamis, 13 September 2012 | 22.07

A: Kamu punya uang seribu nggak?
B: Punya. Emang kenapa? Buat apa?
A: Aku minta, dong. Kan buat bayar parkir di hatimu.
***
Petikan dialog di atas saya kutip dari tayangan kuis di salah satu stasiun TV swasta Jum’at (7/9).  Awalnya, A selaku MC menanyakan keahlian apa yang dimiliki peserta B. Dengan pede B menjawab bahwa dia ahli dalam menggombal. Sejurus kemudian, A pun meminta B membuktikannya.

Kejadian serupa ternyata tidak hanya dilakukan A. Peserta lain yang juga laki-laki ternyata banyak pula yang mengikuti jejak A. Padahal mereka tak janjian sebelumnya. Mereka mengakui “menggombal” sebagai kelebihan atau keahliannya.

“Gila ya! Nggombal udah dianggap keahlian. Kok nggak ada yang kelebihannya pintar ngaji atau hal yang lebih manfaat lagi, ya?” komentar teman saya.

Mendengar celetukan itu, saya menjadi merasa perlu membahas hal ini. Ya, perlu karena sejauh yang saya pahami memang meggombal itu memiliki dua sisi: positif dan negatif. Jadi, waspadalah! Waspadalah!

Gombalisme; Don’t(s) and Do(s)

Aktifitas “menggombal” semacam itu konon makin naik daun setelah dipopulerkan di satu acara komedi yang rutin ditayangkan stasiun TV swasta di negeri ini. Karena ratingnya yang tinggi, budaya menggombal pun banyak diduplikasi, khususnya di kalangan generasi muda. Ironisnya budaya ini kalau tidak dimanage dengan baik bisa semakin menyuburkan pergaulan bebas. Bukan tidak mungkin bombardir gombalan dari si penggombal ulung membuat si target klepek-klepek jika tak pandai menjaga diri. Artinya, menggombal ini memang rawan malpraktik.

Demi memahami hakikat menggombal, maka ada baiknya kita mengkajinya secara cover both side. Namun, sebelum menuju ke sana makna asal “gombal” atau “menggombal” pun penting tak kalah penting untuk diketahui. KBBI telah mencantumkan definisinya sebagai berikut:

1gom·bal n kain yg sudah tua (sobek-sobek)
2gom·bal n cak bohong; omong kosong: rayuan –;
gom·bal·an n ucapan yg tidak benar, tidak sesuai dng kenyataan; omongan bohong: ~ developer yg berbahaya adalah beredarnya berbagai brosur yg menawarkan kondominium dan perumahan supermewah

(Dikutip dari: KBBI Daring)
Kalau berhenti sampai di sini, maka tentu menggombal bukanlah suatu hal yang terpuji. Ternyata dalam istilah Bahasa Jawa tak jauh beda memandang perkara ini.
Menanggapi definisi dasar dan fenomena yang memang banyak terjadi berkaitan dengan ini, maka saya sepakat kembali mendudukkan perkara ini kepada hakikat dasar. Artinya, memang mau bagaimana pun menggombal itu tetaplah sebuah “omongan sampah” alias tak penting, bahkan cenderung berakibat negatif. Tapi perlu ditekankan sekali lagi, menggombal ini mutlak tidak baik manakala dilakukan oleh dan kepada orang yang tidak berhak. Hal ini terkait permasalahan waktu atau konteks pemakaian maupun hubungan personal orang yang terlibat.
gambar: kautsarbiastafi.blogspot.com
Lalu, adakah menggombal yang dibolehkan? Tentu ada. Mungkin sebagian dari kita pernah membaca keterangan dari Nabi Muhammad SAW berikut:

Dari Asma’ binti Yazid dia berkata: Rosululloh SAW bersabda: “Bohong itu tidak halal kecuali dalam tiga hal (yaitu) suami pada istrinya agar mendapat ridho istrinya, bohong dalam perang, dan bohong untuk mendamaikan diantara manusia”. (HR At-Tirmidzi. Derajat hadits: hasan)
Ada beberapa hadits Nabi lain yang senada dengan hadits di atas. Intinya, tidak mengapa kita melebih-lebihkan ucapan kita sehingga tidak sesuai kenyataan (menggombal) dalam konteks tertentu. Dalam hal ini, menggombal di antara pasangan suami-istri demi mempertahankan keharmonisan rumah tangga ternyta dibolehkan dalam Islam. Dan perlu dicatat, bahwa ini tidak bertentangan dengan dalil umum tentang larangan berbohong. Para ulama telah membahas hal ini, salah satunya ialah Ath-Thobari, yang menyatakan:

“Pada asalnya tidak boleh berbohong dalam sesuatupun. Adapun adanya pembolehan untuk berbohong maka maksudnya adalah tauriyah, menggunakan ungkapan-ungkapan (diplomatis), dan tidak terang-terangan berbohong. Misalnya, memuji istrinya, berbuat baik padanya, dan akan memberikan padanya pakaian yang demikan, jika Allah mentaqdirkannya. Walhasil hendaklah menggunakan kalimat-kalimat yang muhtamalah (yang mempunyai beberapa maksud), orang yang diajak bicara akan memahaminya dengan sesuatu yang menentramkan hatinya. Jika berusaha untuk mendamaikan diantara manusia maka menukil dari satu pihak kepada pihak yang lain dengan perkataan yang baik, demikian juga sebaliknya dari pihak yang ini kepada pihak yang lain. Begitu juga dalam perang dengan mengatakan, ‘Pemimpin besar kalian telah mati’, diniatkan untuk pemimpin mereka yang pada zaman terdahulu. Para ulama yang berpendapat demikian menta’wilkan kisah Ibrahim, Yusuf, dan yang semisalnya adalah kalimat-kalimat diplomatis, wallahu a’lam. Adapun berbohongnya suami pada istrinya dan juga sebaliknya maka maksudnya adalah menampakkan kasihsayang, janji yang tidak mengharuskan terlaksana, dan yang seperti itu, adapun tipu muslihat untuk mencegah kewajiban suami atau istri, atau mengakui apa yang tidak dimiliki oleh suami atau istri maka ini adalah haram menurut kesepakatan kaum muslimin.”

Menggomballah pada Waktunya

Sebagai penutup, maka di sini perlu ditegaskan kembali bahwa tak sepatutnya kita selalu mengikuti apa yang kita lihat di layar kaca. Sekalipun hal itu sudah populer di masyarakat umum, jika bertentangan dengan prinsip agama, maka sebaiknya kita tak hanyut dalam arus. “Gombalisasi” yang marak dilakukan kalangan muda demi menggaet si do’i bukanlah suatu perkara yang baik. Selain karena memang belum ada ikatan sah di antara pelaku dan target penggombalan, juga karena tak ada “payung hukum” syar’i yang menganjurkan bahkan membolehkannya. Malahan di balik itu tersimpan potensi cukup besar bagi terciptanya hubungan “ilegal” di mata agama. Sebaliknya, kalau mau menggombal yang tidak dilarang, maka menikah adalah pintu gerbangnya. Namun perlu diingat, menurut penulis, tetaplah lebih baik kita tidak membiasakan diri menggombal terhadap pasangan kita. Toh dalam hadits dikatakan bahwa hal itu masuk kategori “dibolehkan”, bukan “dianjurkan”. Artinya, jika masih ada alternatif selain menggombal, maka itu tetap lebih baik.
 RM, 9 September 2012
Oleh: Nur Afilin (Kadep Humas dan Kajian KAMMI Madani)


sumber : http://kammimadani.wordpress.com/2012/09/09/gombalisme/
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Template Design by Creating Website Published by Mas Template